Pengalaman vs Sukses
Saat ilmu dan pengalaman menjadi musuh terbesar keberhasilan kita.
Dalam sebuah perusahaan konsultan, pernah ada dua jenis pimpinan. Satu Bu Maria, seorang mantan direktur di perusahaan sebelumnya. Sangat pintar, sangat jago dan sangat menguasai bidang yang jasanya diberikan oleh perusahaan konsultan tersebut. Satunya lagi Bu Asima, yang tidak punya pengalaman yang persis seperti yang diberikan jasanya oleh perusahaan tersebut, tapi ia punya semangat belajar luar biasa.
Bu Maria memerintah dengan tangan besi. Karena ia tahu semuanya, maka ia tak pernah mau mendengar masukan dari mereka yang dipimpinnya. Bahkan klien-klien perusahaan tersebut pun seringkali dianggapnya tidak sepintar dirinya. Ia menentukan berbagai kebijakan berdasarkan pendapatnya sendiri. Ia menilai semua orang berdasarkan standard yang dimilikinya.
Bu Asima yang tak terlalu menguasai urusan teknis dari layanan perusahaan, belajar dari sebanyak-banyaknya orang, termasuk mereka yang dipimpinnya. Meskipun tak menguasai secara teknis, kemampuan manajerial dan kepemimpinannya ternyata membuatnya mampu memenangkan hati klien dan team nya.
Bu Maria yang pintar ternyata kemampu bertahan lama di perusahaan tersebut. Team yang dipimpinnya tak mendukungnya, target nya pun tak berhasil dicapainya. Sebaliknya Bu Asima yang tak sepintar Bu Maria, berhasil bertahan cukup lama, mampu mendorong kemajuan perusahaan tempatnya bekerja.
Inilah contoh di mana pengalaman dan pengetahuan menjadi musuh terbesar dalam kesuksesan kita. Merasa pintar membuat kita memandang rendah orang lain, enggan belajar dan tak mendatangkan dukungan. Pimpinan yang merasa sudah pintar tak mau lagi membuka telinga, mata, dan pikiran untuk ide-ide baru, belajar hal-hal baru dan tumbuh bersama teamnya.
Padahal industri sekarang berkembang sangat pesat. Apa yang baik kemarin belum tentu baik saat ini. Pengetahuan dan pengalaman kita bisa jadi sudah kadaluwarsa dalam menghadapi tantangan yang ada. Team yang lebih turun kelapangan mungkin lebih faham kondisi dan kebutuhan, tapi sikap sok tahu membuat mereka yang tahu malas member masukan dan berdiskusi.
Begitu kita merasa paling pintar sedunia, maka kemampuan coaching kita pun akan melemah, karena kita akan gatal untuk terus menerus memberikan nasehat, mengatakan apa yang harus team lakukan, dan bukan menggali kemampuan dan sumber daya yang mereka punya. Makin kita merasa paling jago, maka kita menjadi orang hanya karna mengandalkan kita, dan bukan mencoba mengandalkan dirinya. Dan saat instruksi kita salah, dan nasehat kita keliru, maka beban 100% ada di kita, karena team tak mau mengambil ownership atau tanggung jawab yang dari awal tidak diberikan pada mereka.
Marilah kita coba dengar kalimat-kalimat kita sendiri, seringkah kita mengatakan,
“Sudah tahu.”
“Sudah saya jalankan semua.”
“Nggak ada yang baru di sini.”
“Bisa apa kamu?”
Cobalah analisa, seberapa banyak kita menggali potensi dan bukan memberikan instruksi, berdiskusi dan bukan hanya mengajarkan, membahas ilmu-ilmu baru bersama orang lain, dan tidak merasa “sudah faham semua.”
Marilah kita buka mata dan melihat bahwa dunia sungguh sangat luas, bahwa dunia sudah berubah menjadi jauh lebih cepat dan dinamis dibanding apa yang selama ini ada, dan bahwa semua yang kita pimpin sesungguhnya punya sumber daya yang sangat besar dan butuh digali, bukan hanya diperintah. Berikan kepercayaan bahwa mereka bisa, bahwa mereka bisa jadi lebih pintar, lebih tahu, dan ajak mereka untuk ambil ownership atau tanggung jawab dari semua keputusan yang mereka ambil, dan bukan hanya mengandalkan kita atau orang lain.
Kualitas kita sebagai pemimpin ditentukan oleh kualitas pertanyaan kita pada team kita. Sebagai coach, kita harus mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka faham tujuan mereka bekerja, mengapai itu penting dan untuk siapa saja pekerjaan ini penting. Biarkan mereka merasakan, melihat, mendengar bagaimana kalau impian team terjadi, betapa mengharukannya momen-momen kemenangan dan keberhasilan, dan ajak mereka terinspirasi oleh impian mereka sendiri.
Ajukan pertanyaan yang membuat mereka mampu membuka mata bahwa yang mereka lakukan ini benar-benar berharga dan membuat mereka punya arti lebih banyak dalam hidup. Bagilah ilmu, dan berikan kesempatan bagi mereka untuk melihat bahwa sesungguhnya mereka tahu apa yang harus dilakukan, dengan semua ilmu yang mereka punya. Ajak mereka mengeksplor siapa yang mereka tahu, lihat dan alami untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Bantu mereka membangun komitmen atas keputusan mereka sendiri. Dan saat semua berhasil, ajak mereka mengapresiasi keberhasilan mereka, karena tak semua orang mampu melakukannya. Saat semua gagal, ajak mereka menggali dalam hal apa mereka gagal dan bagaimana belajar dari kegagalan agar mereka tak putus asa hanya karena satu kegagalan.
Dan suatu hari kita akan melihat bahwa apa yang tampak seperti lumpur tak berharga ternyata menyimpan banyak intan berlian berkilauan.
Apa rasanya kalau kita mampu membuat orang sadar akan kehebatan dirinya, dan membantu mereka menjadi sukses melalui pertanyaan-pertanyaan kita?
Sumber:
Indira Abidin
http://www.kompasiana.com/indiraabidin/pengalaman-vs-sukses_584a7b79779773142886897d